Emisi Karbon dan Subsiden di Lahan Gambut (Laporan Praktikum)
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah gambut umumnya terdiri dari 90% air dan 10% padatan vegetatif. Lahan gambut termasuk dalam kategori lahan basah (wetland), sehingga perlu pengelolaan sebagai badan air untuk mencegah terjadinya kehilangan air secara berlebihan sehingga dapat mendukung lahan gambut dalam mengendalikan subsiden. Subsiden merupakan terjadinya suatu hal pada tanah yakni penurunan permukaan.
Penurunan permukaan tanah gambut disebabkan oleh beberapa faktor yakni penurunan elevasi muka air tanah karena adanya drainase, dekomposisi, oksidasi tanah, aktivitas mikrobiologi tanah, pembukaan lahan, serta terjadinya kebakaran pada lahan gambut. Laju penurunan permukaan tanah yang tinggi pada awal tahun dan selanjutnya menurun seiring terjadinya proses peningkatan kematangan tanah yang disertai dengan naiknya bobot isi (bulk density) tanah dicirikan sebagai karakteristik subsiden.
Manajemen air dalam pengelolaan lahan gambut berpengaruh penting untuk berlangsungnya budidaya pertanian di kawasan lahan gambut secara terus-menerus. Lahan gambut memiliki sifat yang sangat penting yakni rentan terhadap perubahan lingkungan atau disebut sifat inheren. Beberapa sifat inheren yang kurang baik pada gambut tropika menurut Sarwono (2003) adalah irreversibe drying dan subsidence.
Berdasarkan hal tersebut, koloid gambut akan rusak dan mengalami perubahan sifat menjadi arang serta tidak mampu menyerap unsur hara dan menahan air sehingga rentan terhadap erosi apabila gambut mengalami kekeringan. Selanjutnya, Sarwono (2003) menjelaskan bahwa setelah 4-5 minggu gambut mengalami kekeringan maka persediaan air di dalamnya akan hilang sehingga mudah terbakar.
Penurunan permukaan tanah merupakan suatu proses gerakan menurunnya permukaan tanah yang didasarkan atas suatu kerangka referensi geodesi dengan berbagai macam variabel variabel. Hal ini disebabkan oleh beban di atas permukaan tanah, air tanah yang menghilang karena eksploitasi, struktur tanah yang rusak akibat gempa, serta bidang tanah yang tidak stabil. Penurunan permukaan tanah ini secara tidak langsung dapat dikatakan pemaksaan memadatkan struktur tanah. Biasanya hal ini terjadi pada daerah berupa rawa, delta, endapan banir yang mengalami peralihan fungsi tata guna lahan-nya.
Gambut secara fisik lembek dan memiliki kemampuan menahan beban yang rendah. Bila didrainase lahan gambut akan mengalami subsiden dan potensial mengalami kering tidak dapat balik (irreversible drying). Subsiden merupakan suatu proses menurunnya permukaan lahan gambut setelah kegiatan reklamasi atau pun drainase, karena menyebabkan terjadinya pertukaran suasana gambut dari anaerob ke aerob. Dalam arti lain menyusutnya tanah dan menurunnya permukaan gambut.
Permasalahan pada lahan gambut muncul ketika dilakukan drainase dengan membuat berbagai kanal. Pembuatan kanal ini dimaksudkan untuk mengurangi kondisi jenuh air pada lapisan perakaran tanaman. Akan tetapi, di lain sisi memberikan dampak negatif bagi lahan gambut tersebut. Dampak negatif tersebut berupa gambut menjadi kering dan tidak mampu menyimpan air yang selanjutnya berakibat fatal yakni munculnya subsiden. Berdasarkan dari sifat yang sangat penting pada gambut, Widyati (2011) mengatakan bahwa gambut tidak dapat basah apabila telah mengalami kekeringan pada tingkat tertentu.
Kegiatan praktikum ini dilaksanakan agar mahasiswa dapat mengetahui bagaimana proses dalam memperkirakan nilai emisi karbon yang ada pada suatu kawasan lahan gambut dan dapat mengetahui bagaimana cara memperhitungkan laju subsiden yang terjadi di lahan gambut. Sehingga nantinya mahasiswa diharapkan dapat memahami dan mengetahui teknik-teknik dalam melakukan pengelolaan dan pemanfaatan di lahan khusus gambut.
1.2 Tujuan Praktikum
Adapun tujuan yang di ingin dicapai dalam kegiatan praktikum ini, yaitu sebagai berikut:
- Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui dan memahami karakter tipologi lahan gambut terdegradasi dan/atau yang di drainase (berkanal).
- Mahasiswa dapat memperkirakan jumlah emisi CO2 pada lahan gambut terdegradasi dan/atau yang di drainase (berkanal).
- Mahasiswa dapat memperkirakan laju subsiden pada lahan gambut yang di drainase (berkanal).
II. TELAAH MATERI
2.1 Emisi Karbon di Lahan Gambut
Tanah gambut merupakan tanah yang memiliki simpanan karbon (C) lebih banyak dari tanah mineral. Sekitar 180-600 mg C dapat ditemukan dalam 1 g gambut kering, sedangkan dalam 1 g tanah mineral dapat ditemukan 5-80 mg karbon. Searah dengan hal tersebut Agus & Subiksa (2008) mengatakan bahwa pada daerah tropika, tanah dan tanaman pada lahan gambut dapat menyimpan 10 kali karbon lebih banyak dari pada tanah dan tanaman pada lahan mineral.
Di dunia, total luas lahan gambut sekitar 3% dari luas total daratan di dunia dengan berbagai macam kandungan diantaranya 550 gigaton karbon (30% karbon tanah), 75% karbon dari karbon atmosfir (seluruh karbon biomassa makhluk hidup di daratan), serta setara degan simpanan karbon semua hutan di dunia dua kali lebih banyak. Luas lahan di Indonesia meliputi 10% dari total luas daratan-nya atau sekitar 20 juta ha memperkirakan karbon yang tersisa atau tersimpan pada lahan gambut di Indonesia sekitar 55 Gigaton (Parish, et al., 2007).
Peningkatan emisi biasanya diakibatkan oleh adanya konversi lahan dengan drainasi yang lebih besar. Makin matang gambut, emisi yang dilepaskan makin rendah. Selain itu, lapisan substratum pada lahan gambut juga dapat menentukan emisi. Lapisan tanah mineral yang mengandung polivalen tinggi di bawah lahan gambut akan melepaskan emisi dalam ukuran kecil. Selanjutnya, ameliorasi yang dilakukan pada tanah gambut dengan maksud memperbaiki kesuburan juga dapat memacu emisi, karena dapat menurunkan rasio karbon/nitrogen (N) dan akan memacu dekomposisi gambut (Parish et al, 2007).
Kunjungi juga : Perubahan Lahan Gambut di Indonsia (1952-2004)
Kunjungi juga : Perubahan Lahan Gambut di Indonsia (1952-2004)
Sebelum menjadikan lahan gambut sebagai lahan pertanian maka lahan gambut perlu dikeringkan. Hal ini dikeranakan pada keadaan alaminya, lahan gambut mengandung banyak air. Tujuan pengeringan ini pada lahan gambut adalah supaya akar tanaman yang akan ditanam pada lahan gambut dapat mengakses oksigen sehingga mengalami pertumbuhan. Namun, proses tersebut membuat mikroba di dalam tanah merongrong bahan organik dan melepaskan CO2 dalam prosesnya.
Pembusukan bahan organik di dalam lahan gambut mengakibatkan penyusutan gambut sehingga memerlukan pengeringan dengan tujuan untuk mencegah air kembali memenuhi gambut. Emisi karbondioksida akan terus berlangsung mengikuti siklus surut dan kering-nya gambut. Keberlangsungan tersebut membuat luasan dan ketebalan tanah gambut tidak dapat dipastikan. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyediakan perkiraan emisi dari pengeringan gambut, tetapi data emisi tersebut berasal dari set data yang tidak pasti dan belum berubah sejak 1990 (Rieley et al, 2008).
Cara yang lebih kompeten untuk mencegah gambut kering tidak mengeluarkan emisi karbondioksida adalah dengan membasahi kembali lahan gambut tersebut. Hal tersebut dapat mengurangi dampak kebakaran (mencegah) pada saat cuaca panas yang dapat membuat emisi bertambah dan terjadinya polusi.
Di Indonesia, lahan gambut sangat penting karena kandungan karbon di dalamnya yang mampu tersimpan 20 kali lebih banyak dari pada hutan hujan tropis pada umumnya atau tanah yang bermineral, dan 90% diantaranya disimpan di dalam tanah. Apabila di atas lahan gambut terjadi penebangan pohon maka gambut tersebut dapat melepaskan karbon selama bertahun-tahun sehingga terjadi perubahan tanah gambut apabila terjadi kebakaran. Susanti, et al. (2009) mengatakan bahwa hutan di Indonesia hilang sebanyak 5% setiap tahunnya karena penebangan hutan yang terus mengalami peningkatan.
2.2 Subsiden di Lahan Gambut
Berdasarkan peninjauan dari aspek agronomi dan lingkungan, gambut memiliki peran yang semakin strategis. Meskipun pemanfaatan lahan gambut selanjutnya diatur dengan kebijakan moratorium dan restorasi, namun tuntutan masyarakat terhadap kebutuhan lahan perlu pertimbangan khususnya pada daerah dominan gambut.
Baella, et al. (2007) mengatakan bahwa pada bulan September sampai Agustus tahun 2014, ICCTF (Indonesian Climate Change Trust Fund) telah melakukan kajian terhadap dua aspek tersebut. Dengan mengkumulatifkan hasil pengamatan yang dilakukan setiap bulannya, penurunan permukaan (subsiden) pada lahan gambut serta rata-ratanya ditetapkan berdasarkan waktu dalam 1 tahun (cm/th).
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan dan data yang diperoleh dari hasil pengamatan pada lokasi kajian menghasilkan rata-rata kecepatan subsiden tanah dengan nilai 2,7 cm/th. Selanjutnya, dari 28 stick yang diukur menghasilkan rata-rata subsiden tanah sebesar 8,9 cm. Berdasarkan hasil tersebut menjelaskan bahwa pada kondisi alami lahan gambut terjadi intervensi atau gangguan seperti konversi hutan lahan gambut dan pembuatan drainase sehingga menyebabkan degradasi dengan ciri adanya subsiden gambut (Kalsim, 2012).
Terjadinya perubahan pada sifat gambut yang awalnya bersifat hidrofilik (suka air) menjadi bersifat hidrofobik (tidak suka air) membuat terjadinya kering yang tidak dapat kembali sehingga kemampuan lahan gambut dalam menyerap air jadi menurun. Hal tersebut menyebabkan volume gambut mengalami penyusutan dan subsiden permukaan. Di Indonesia, emisi gas rumah kaca dan subsiden lahan gambut menjadi isu negatif terpopuler pada saat ini berkaitan dengan lingkungan.
Secara umum, gambut dapat menyimpan air 13 kali lebih banyak dari jumlah volumenya. Pada kenyataan sekarang ini, lahan gambut dikeringkan untuk tujuan penggunaannya dengan pembuatan kanal. Kegiatan tersebut mengakibatkan terjadinya pengurangan volume air yang tersimpan di dalam lahan gambut serta mengalami kerapuhan sehingga menyusut.
Penyusutan yang terjadi secara berulang akan membuat lahan gambut mengalami subsiden. Subsiden Lahan gambut menimbulkan dampak negatif pada tumbuhan serta pemukiman. Tumbuhan dapat tumbang sebagai dampak negatif dari subsiden, karena akarnya tidak mampu menampung beban pohon. Selanjutnya, pada daerah pemukiman dapat terbentuknya genangan air sehingga aktivitas masyarakat dapat terganggu. Selain itu, subsiden juga dapat menyebabkan rusaknya infrastruktur bangunan.
III. METODE PELAKSANAAN
3.1 Waktu Pelaksanaan
Adapun waktu pelaksanaan kegiatan praktikum ini yaitu pada 6 Mei 2020, dan dilaksanakan secara daring (metode online).
3.2 Peralatan
Adapun peralatan yang digunakan dalam menyelesaikan kegiatan praktik ini yakni Kalkulator, Laptop Acer Aspire 3 Generasi ke 7 Core i3, dan Alat tulis.
3.3 Pengolahan Data
Adapun teknik pengolahan data yang digunakan dalam kegiatan praktikum ini, yaitu sebagai berikut:
3.3.1 Teknik Pengolahan Data Emisi Karbon di Lahan Gambut
Prakiraan/prediksi jumlah emisi (E), dihitung dengan mengacu pada rumus/persamaan Hooijer, et al. (2006 dan 2010) yg dimodifikasi Agus, et al. (2012), yakni:
E (ton CO2 ha-1 tahun -1) = 0,7 x 0,91 x kedalaman drainase (cm)
Faktor 0,7 digunakan untuk memisahkan respirasi akar sekitar 30%.
3.3.2 Teknik Pengolahan Data Laju Subsiden di Lahan Gambut
Prakiraan/prediksi laju subsiden (S), dihitung dengan menggunakan rumus Hooijer et al., (2012) dalam Lisnawati, et al. (2015), yakni:
S = 1,5 – 4,98 x WD
Keterangan:
S = Laju subsiden (cm/th).
WD = Rerata kedalaman muka air tanah di bawah permukaan gambut (-m; negatif).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Estimasi Emisi Karbon
Lahan gambut merupakan lahan dengan berbagai macam fungsi yang sangat penting untuk menjaga serta mengatur proses berlangsungnya lingkungan kehidupan salah satunya sebagai tempat penyimpan karbon terbesar di dunia. Dalam rangka pengelolaan karbon di daratan serta pelestarian hutan rawa gambut untuk itu dilakukan penilaian terhadap kandungan estimasi emisi karbon (CO2). Berikut ini merupakan data perhitungan Nilai Estimasi Emisi CO2.
Tabel 1. Data Kedalaman Drainase (cm) dan Nilai Estimasi Emisi CO2 untuk Kelompok IV
Berdasarkan data analisis kedalaman drainase (cm) menunjukkan bahwa pada kedalaman 60 cm terbentuk emisi CO2 sebesar 38,22 ton/ha setiap tahun. Selanjutnya pada kedalaman 55 cm terbentuk emisi CO2 sebesar 35,04 ton/ha setiap tahun. Pada kedalaman 50 cm diperkirakan emisi CO2 yang terjadi adalah 31,85 ton/ha setiap tahun. Pada kedalaman 45 cm menghasilkan emisi CO2 sebesar 28,67 ton/ha setiap tahunnya. Kedalaman 44 cm mengahsilkan emisi CO2 sebesar 28,03 ton/ha setiap tahunnya.
Apabila dibandingkan antara nilai emisi CO2 dengan kedalaman drainase hasilnya menunjukkan bahwa nilai emisi CO2 untuk setiap kedalaman drainase sangat beragam. Selanjutnya, pola yang dihasilkan dari data tersebut adalah semakin berkurang kedalaman drainase maka nilai kehilangan karbon/emisi CO2 semakin berkurang. Perbedaan ini dapat dilihat pada drainase yang memiliki kedalaman 60 cm dan 44 cm dengan estimasi CO2 berturut-turut 38,22 ton/ ha dan 28,03 ton/ha setiap tahunnya.
Perbedaan nilai emisi CO2 pada umumnya disebabkan oleh kedalaman air dimana semakin dalam air dari permukaan tanah maka emisi CO2 akan semakin besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Triadi, et al. (2018) yang melaporkan bahwa emisi lebih tinggi terjadi di daerah pertanian yang memiliki elevasi muka air lebih rendah. Selain itu, hubungan antar keduanya menunjukkan bahwa muka air tanah di sekitar saluran drainase semakin dalam, sedangkan muka air tanah yang jauh dari drainase akan membuat air tanah semakin dangkal mendekati permukaan tanah (Aswandi, et al., 2016).
Keberadaan air yang semakin dekat di permukaan tanah terutama pada lahan gambut tentunya memberikan dampak positif bagi lingkungan sekitar lahan gambut. Sebaliknya, keberadaan air yang semakin jauh dari permukaan tanah pada lahan gambut akan memberikan dampak negatif. Hal ini dikarenakan air yang lebih dekat dengan permukaan tanah gambut dapat mengatasi terjadinya kekeringan yang lebih cepat dimana kehilangan karbon/emisi CO2 di dalam tanah tidak dapat terjadi atau pun terminimalisir.
Keberadaan air pada permukaan tanah gambut membuat tanah tersebut menjadi basah sehingga tidak mudah untuk kering. Kajian hubungan antara kedalaman drainase dengan emisi CO2 berdasarkan data menunjukkan bahwa kedalaman drainase akan memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap emisi CO2 yang akan terjadi.
Drainase yang semakin dalam akan membuat tanah gambut menjadi lebih cepat kering di musim kemarau karena laju pergerakan air pada arah datar (horizontal) lebih cepat menuju saluran drainase. Pendapat ini sesuai dengan Maswar, et al. (2011) yang menjelaskan bahwa pola transek dalam muka air tanah akan mengikuti pola persamaan logaritmik dimana pergerakan air arah horizontal menuju saluran drainase lebih cepat dibandingkan dengan pergerakan arah vertikal pada gambut. Artinya, semakin dalam drainase maka semakin luas lahan gambut yang akan kering lebih cepat sehingga dapat menimbulkan emisi CO2 yang semakin besar.
Terjadinya emisi CO2 disebabkan oleh hilangnya karbon di dalam tanah gambut. Kehilangan karbon tersebut disebabkan terjadinya kekeringan atau pun kebakaran pada lahan. Karbon yang hilang tersebut akan diubah menjadi CO2 dan akan menguap di permukaan.
4.2 Prediksi Laju Subsiden
Tercapainya kondisi yang optimum untuk pertumbuhan tanaman pada lahan gambut adalah dengan melakukan drainase (Ratnaningsih & Prastyaningsih, 2017). Subsiden pada lahan gambut merupakan kondisi fisik setelah dilakukan drainase (subsidensi). Berikut data perhitungan tinggi muka air dan laju subsiden pada lahan gambut.
Tabel 2. Data Tinggi Muka Air Tanah dan Laju Subsiden Gambut Berdasarkan Rerata Kedalaman Muka Air Gambut untuk Kelompok IV
Dari hasil perhitungan diatas dapat diketahui bahwa kedalaman drainase akan berpengaruh terhadap tinggi muka air tanah sehingga laju subsidensi yang terjadi juga akan bervariasi tergantung dari kedalaman drainase. Semakin dalam titik turunnya permukaan air menyebabkan kadar air yang terkandung pada permukaan lahan gambut semakin berkurang, sehingga hal ini akan berdampak terhadap gambut permukaan menjadi kering (Hidayanti & Riwandi, 2011).
Pada pengukuran kedalaman drainase 163 cm memiliki tinggi muka air tanah sebesar 60 cm sehingga laju subsiden yang dihasilkan sebesar 4,49 cm/tahun atau sebesar 0,37 cm/bulan. Pada drainase yang memiliki kedalaman 153 cm memiliki tinggi muka air tanah sebesar 55 cm sehingga laju subsiden yang dihasilkan sebesar 4,24 cm/tahun atau sebesar 0,35 cm/bulan.
Kemudian pada drainase yang memiliki kedalaman 143 cm memiliki tinggi muka air tanah sebesar 50 cm sehingga laju subsiden yang dihasilkan sebesar 3,99 cm/tahun atau sebesar 0,33 cm/bulan. Sementara pada drainase yang memiliki kedalaman 133 cm memiliki tinggi muka air tanah sebesar 45 cm sehingga laju subsiden yang dihasilkan sebesar 3,74 cm/tahun atau sebesar 0,31 cm/bulan. Dan pada drainase yang memiliki kedalaman 123 cm memiliki tinggi muka air tanah sebesar 44 cm sehingga laju subsiden yang dihasilkan sebesar 3,69 cm/tahun atau sebesar 0,31 cm/bulan.
Kunjungi juga : Jenis-Jenis Pohon yang Hidup di Lahan Gambut
Kunjungi juga : Jenis-Jenis Pohon yang Hidup di Lahan Gambut
Subsiden lahan gambut berkolerasi positif dengan penurunan muka air. Dari hasil perhitungan di atas dapat diketahui bahwa semakin dalam saluran drainase gambut, akan berdampak terhadap banyak air yang keluar dari massa gambut. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Hardjowigeno (1997) yang mengatakan bahwa dari proses tersebut kemudian tanah gambut akan mengalami pematangan fisik (physical ripening) yang akhirnya terjadi penyusutan pada tanah gambut. Dapat dikatakan bahwa semakin dalam saluran drainase pada lahan gambut, maka semakin besar pula laju subsiden yang terjadi.
Kedalaman permukaan air dari permukaan lahan gambut berpengaruh besar dengan karakteristik permukaan lahan gambut. Kadar air yang terkandung pada permukaan lahan gambut akan mengalami pengurangan jika titik turunnya permukaan air semakin dalam sehingga gambut pada bagian permukaan menjadi kering.
Kondisi tersebut membuat lapisan lahan gambut lebih cepat dilahap api apabila terjadi kebakaran. Semakin dalam turunnya permukaan air pada permukaan gambut akan sangat berpengaruh terhadap karakteristik permukaan lahan gambut. Hal ini akan langsung berpengaruh terhadap terjadinya penurunan karakteristik kimia air tanah dan menyebabkan terjadinya penurunan karakteristik kimia pada lapisan di atas muka air atau pada gambut permukaan yang mengalami subsiden.
Pengaruh tersebut adalah mengalami peningkatan kadar N serta kada karbon menjadi turun akibat proses oksidasi bahan organik. Kandungan N dengan rata-ratanya cenderung lebih tinggi di bagian lapisan di atas permukaan tanah karena dekomposisi yang lebih besar serta aktivitas mikroorganisme yang cukup intensif.
Kadar N pada lapisan di bawah permukaan air tanah cenderung lebih rendah. Jumlah N yang dilepaskan dipengaruhi oleh tinggi muka air karena aerasi serta temperatur. Berdasarkan hal tersebut, jumlah N yang tersedia bagi tanaman semakin rendah apabila muka air semakin tingg (Ratnaningsih & Prastyaningsih, 2017).
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang didapatkan dari kegiatan praktik tentang perhitungan estimasi nilai karbon dan penilaian tinggi muka air tanah terhadap laju subsidensi pada lahan gambut, yaitu:
- Drainase kedalaman 60 cm terbentuk emisi CO2 sebesar 38,22 ton/ha setiap tahun. Sedangkan pada kedalaman 55 cm terbentuk emisi CO2 sebesar 35,04 ton/ha setiap tahun. Pada kedalaman 50 cm menghasilkan emisi CO2 yang terjadi adalah 31,85 ton/ha setiap tahun. Sementara pada kedalaman 45 cm menghasilkan emisi CO2 sebesar 28,67 ton/ha setiap tahunnya. Kedalaman 44 cm menghasilkan emisi CO2 sebesar 28,03 ton/ha setiap tahunnya.
- Dari hasil perhitungan estimasi nilai karbon dapat diketahui bahwa pola yang dihasilkan dari data tersebut adalah semakin berkurang kedalaman drainase maka nilai kehilangan karbon/emisi CO2 semakin berkurang.
- Dapat diketahui bahwa pada kedalaman drainase 163 cm memiliki tinggi muka air tanah sebesar 60 cm, laju subsiden yang dihasilkan 4,49 cm/tahun atau sebesar 0,37 cm/bulan. Pada drainase kedalaman 153 cm tinggi muka air tanah sebesar 55 cm sehingga laju subsiden sebesar 4,24 cm/tahun atau sebesar 0,35 cm/bulan. Kemudian drainase yang kedalamannya 143 cm memiliki tinggi muka air tanah sebesar 50 cm sehingga laju subsiden sebesar 3,99 cm/tahun atau sebesar 0,33 cm/bulan. Pada drainase yang memiliki kedalaman 133 cm memiliki tinggi muka air tanah sebesar 45 cm sehingga laju subsiden yang dihasilkan sebesar 3,74 cm/tahun atau sebesar 0,31 cm/bulan. Dan pada drainase yang memiliki kedalaman 123 cm memiliki tinggi muka air tanah sebesar 44 cm sehingga laju subsiden yang dihasilkan sebesar 3,69 cm/tahun atau sebesar 0,31 cm/bulan.
- Dapat diketahui bahwa semakin dalaman drainase pada suatu kawasan gambut maka akan berpengaruh terhadap tinggi muka air tanah dan laju subsidensi yang terjadi pun akan semakin tinggi pula.
5.2 Saran
Dari kegiatan praktik yang sudah dilaksanakan adapun saran yang dapat diberikan oleh penyusun untuk kegiatan praktikum mata kuliah Pengelolaan Lahan Gambut yaitu untuk kegiatan praktikum ini selanjutnya mungkin bisa dilakukan praktek
Pustaka:
Pustaka:
Agus, F. & I G.M. Subiksa.
2008. Lahan Gambut: Potensiuntuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai
Penelitian Tanah. Badan Litbang Pertanian.
Agus F., Wahyunto, A. Dariah, E.
Runtunuwu, E. Susanti, W. Supriatna, 2012. Emission Reduction Options for peat
Soil inKubu Raya and Pontianak Districts West Kalimantan, Indonesia. Jurnal of Oil Palm Research Vol 24,
1378-1387.
Aswandi, et al. 2016. Kehilangan Karbon Akibat Drainase dan Degradasi Lahan
Gambut Tropika di Trumon dan Singkil Aceh. Jurnal
Manusia dan Lingkungan 23 (3): 334-342
Baella, et al. 2007. Spot Heights Generalization: Deriving The Relief of The Topographic Database of Catalonia at 1:25.000 From the Master Database.
In 7th ICA Workshop on Progress in Automated Map Generalization. Moscow
Hardjowigeno, S. 1997. Pemanfaatan Gambut
Berwawasan Lingkungan. Alami 2 (1): 3–6.
Hidayanti, N., Riwandi. 2011. Laju
Subsiden pada Sistem Drainase dan Pengapuran Tanah Gambut Fibrik dengan
Pertanaman Jagung. Prosiding Seminar Nasional Budidaya PertanianPengendalian
Alih Fungsi Lahan Pertanian.
Kalsim, D. K. 2012. Analisis Dugaan
Subsiden (subsidence) di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti. Provinsi
Riau. Sumber repository.ipb.ac.id/handle/123456789/57988 (diakses pada 11 Juni 2020).
Lisnawati, et al. 2015. Dampak Pembangunan Hutan Tanaman Industri Acacia
craccicarpa di Lahan Gambut terhadap Tingkat Kematangan dan Laju Penurunan
Permukaan Tanah. Jurnal Manusia dan
Lingkungan, 22 (2): 179-186.
Maswar, et al. 2011. Cadangan, Kehilangan, dan Akumulasi Karbo pada
Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Tropika. Jurnal Solum 8 (1): 1-10
Parish F, et al. 2007. Assessment on Peatlands, Biodiversity, and Climate
Change: Main Report. Global Environment Centre. Kuala Lumpur and Wetlands International,
Wageningen.
Ratnaningsih, A., T.,
Prastyaningsih, S., R. 2017. Dampak Kebakaaran Hutan Gambut Terhadap Subsidensi
di Hutan Tanaman Industri. Jurnal
Kehutanan Wahana Forestra 12 (1): 37-43
Rieley, et al. 2008. Tropical Peat Lands: Carbon Stores, Carbon Gas Emissions, and Contribution to Climate Change Processes. pp. 148-182 In M. Strack (Ed.)
Peatlands and Climate Change. International Peat Society. Finland
Sarwono. 2003. Klasifikasi Tanah
dan Pedogenesis. Akademik Persindo. Jakarta
Susanti, E., E. Surmaini, A.
Dariah, dan F. Agus. 2009. Karbon Tersimpan Di Atas Permukaan Tanah Pada
Berbagai System Penggunaan Lahan Di Kalimantan Barat. Dalam Prosiding Seminar
Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan
Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
Triadi, et al. 2018. Dampak Dinamika Muka Air Tanah pada Besaran dan Laju
Emisi Carbon di Lahan Rawa Gambut Tropika. Jurnal
Sumber Daya Air 14 (1): 15-30
Widyati, E. 2011. Kajian Optimasi Pengelolaan
Lahan Gambut dan Isu Perubahan Iklim. Tekno
Hutan Tanaman 4 (2): 57-68