Sejarah dan Prinsip Kehutanan Masyarakat
A. Sejarah Kehutanan Masyarakat
Sejarah munculnya kehutanan masyarakat diawali antara tahun 70-an dan tahun 89-an. Tahun 1978 tepatnya di Jakarta diadakan Kongres Kehutanan se-dunia yang memfokuskan diri pada aspek sosial.
Kongres tersebut bertemakan “Forest for People” yang menjadi momentum bagi para pesertanya sehingga menyebar ke mana-mana. Sebelumnya, kongres yang sama juga pernah dilakukan pada tahun 1972 di Buenos Aires dengan mengangkat tema “Forest for Socio-Economic Development”. Sekali lagi, kongres tersebut memiliki fokus pada aspek sosial (Sahide, 2009).
Berdasarkan kongres tersebut, Westobi (1989) mencatat bahwa hal itu merupakan awalnya berbagai fakultas kehutanan melakukan penyelenggaraan kursus serta pelatihan yang berhubungan dan terkait dengan isu sosial.
Dari hal tersebut muncul istilah yang berbeda-beda seperti community forestry, community based forest management, farm forestry, forestry for community development, dan village forestry (Santoso, 2011). Selanjutnya ditambahkan bahwa meskipun memiliki istilah yang berbeda namun memiliki pesan yang sama yakni bangkitnya kesadaran dalam penyelenggaraan kehutanan.
Di Indonesia, gagasan yang mengatakan bahwa masyarakat lokal sebagai subjek terpenting (utama) dalam pengelolaan hutan muncul sejak alur reformasi tepatnya tahun 1998. Berkenaan dengan waktu itu, gagasan tersebut merupakan momentum yang cukup baik dan berpengaruh.
Tidak hanya itu, isu tersebut juga didalami oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan akademisi. Bedanya, LSM melakukan aktivitas pada isu tersebut, sedangkan akademisi berlomba-lomba melakukan penelitian serta pendidikan yang berhubungan dengan kehutanan masyarakat (Sahide, 2009).
Sementara itu, di kalangan akademis masih banyak terdapat perbedaan istilah terkait kehutanan masyarakat. Namun, istilah-istilah tersebut memiliki substansi yang sama yakni kehutanan masyarakat, pengelolaan hutan berbasis masyarakat, atau social forestry.
Secara umum mulai dikenal oleh masyarakat ketika keluarnya kebijakan oleh pemerintah yang tertera pada Permenhut No. 37/2007 yang mencantumkan definisi Hutan Kemasyarakatan (HKm) sebagai hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat (Sahide, 2009).
B. Prinsip-Prinsip Kehutanan Masyarakat
Kehutanan masyarakat merupakan kegiatan pengelolaan hutan yang kepentingan kelompok masyarakat tertentu lebih diutamakan, khususnya masyarakat yang kondisi ekonomi serta politiknya lemah (Leslie, 1989 dalam Santoso, 2011).
Prinsip kehutanan masyarakat adalah suatu pokok atau dasar pemikiran dengan melihat dan mempertimbangkan kondisi masyarakat di sektor kehutanan terlebih-lebih terhadap faktor ekonomi. Sahide (2009) mengatakan bahwa prinsip-prinsip kehutanan masyarakat pada dasarnya terdiri dari 8 bagian yaitu:
- Kesetaraan
- Kesetaraan Gender
- Kebersamaan
- Keterbukaan (Transparansi)
- Kepelbagian (Pluralisme)
- Membangun Kepercayaan (Trust Building)
- Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat Lokal
- Saling Menghargai
Prinsip-prinsip kehutanan masyarakat yang telah diuraikan seperti di atas dibangun berdasarkan realitas dan konsensus (kesepakatan) dari beberapa praktisi dengan tujuan supaya adanya suatu sistem pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat.
Prinsip kehutanan masyarakat ini masih bersifat universal sehingga tidak tertutup kemungkinan adanya perubahan di masa yang akan datang berdasarkan dinamika yang dibangun oleh masyarakat (Sahide, 2009).
Pustaka:
Sahide, M. A. K. 2009. Buku Ajar Kehutanan
Masyarakat: Dari Tradisi, Diskursus, Hingga Praktek. Universitas Hasanuddin.
Makassar
Santoso H. 2011. Hutan Kemasayarakatan dan
Hutan Desa: Tafsir Setengah Hati Pengelolaan Human Berbasis Masyarakat Versi
Kementrian Kehutanan RI. Jurnal Kehutanan Masyarakat 3 (1): 53-78
Westoby, J. 1989. Introduction to World
Forestry. Basil Blackwell. UK
Editor : Zega Hutan