Makalah Perhutanan Sosial Terbaru
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan adalah suatu kawasan yang di dalamnya tumbuh berbagai macam jenis pepohonan dan tumbuhan yang lain. Kawasan-kawasan ini terdapat di wilayah- wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah dan merupakan salah satu aspek biosfer bumi yang paling penting, hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Hutan dapat ditemukan baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau kecil maupun di benus besar (Rulianti, 2019).
Hutan yang kaya akan sumberdaya alam sering dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi dalam pemanfaatan sumber daya alam dibidang kehutanan seringkali dilakukan dengan tidak teratur. Kebijakan yang digunakan untuk melegitimasi masyarakat dalam memanfaatkan hutan ialah pasal 67 Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui sektor kehutanan dengan menerapkan prinsip lestari, maka pemerintah mencanangkan program perhutanan sosial yang terdiri atas: Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat, Kemitraan Kehutanan (KK) dalam bentuk KULIN KK atau Pengakuan Perlindungan Kemitraan Kehutanan dan Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS).
Bentuk perhutanan sosial di Indonesia perlu dikaji agar lebih mengetahui tentang program pemerintah tersebut. Sehingga makalah mengenai perhutanan sosial di Indonesia perlu dibuat. Keterangan yang diperoleh diharapkan dapat menjadi dasar dalam pengetahuan tentang perhutanan sosial sehingga tujuan pengelolaan hutan yang lestari dapat tercapai.
1.2 Rumusan Masalah
- Bagaimana bentuk perhutanan sosial di Indonesia?
- Bagaimana dampak perhutanan sosial?
1.3 Tujuan
- Mengetahui bentuk perhutanan sosial di Indonesia
- Mengetahui dampak perhutanan sosial
II PEMBAHASAN
2.1 Bentuk Perhutanan Sosial di Indonesia
Perhutanan sosial didefinisikan sebagai suatu pemerataan ekonomi dimana termasuk dalam program nasional dengan tujuan meminimalkan adanya ketimpangan diantara lahan, kesempatan untuk berusaha, serta sumber daya manusia (SDM).
Perhutanan sosil merupakan suatu program yang legal sehingga masyarakat dapat memiliki andil untuk ikut serta dalam pengelolaan hutan dengan tujuan supaya ekonomi dapat meningkat. Program ini menepis ketakutan banyak orang yang selama ini menghadapi banyak kesulitan ketika hendak memanfaatkan area hutan di sekitar tempat tinggal mereka (Silitonga, 2019).
Kunjungi juga : Masyarakat Sekitar Hutan Serta Kehidupannya
Ada lima skema dalam program ini yaitu:
1. Hutan Desa
Hutan desa merupakan hutan negara yang dikelola oleh desa dimana tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan desa. Dasar hukum hutan desa terdapat pada pasal 4 Peraturan Menteri Lingkungan hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016, Perhutanan sosial diberikan dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, kemitraan kehutanan dan hutan adat. Lebih lengkap terdapat pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK. 744/MENL.HK-PKTL/REN/PLA.0/1/2019 Tentang Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (Revisi III).
Lebih lanjut dikatakan bahwa hutan desa merupakan hutan negara yang belum dibebani izin/hak yang dikelola oleh desa untuk dimanfaatkan demi tercapainya kesejahteraan desa. Pengertian tersebut tecantum di dalam PP No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. Pemanfaatan hutan desa dapat dilakukan pada dua jenis hutan yakni hutan lindung dan hutan produksi. Pemanfaatan tersebut dilakukan dengan syarat hutan yang dimaksud belum terbebani hak pengelolaan serta izin pemanfaatan. Selain itu, hutan tersebut juga harus berada di dalam wilayah administrasi desa yang berkaitan.
Pemberdayaan masyarakat melalui pemanfaatan hutan desa dilakukan dengan upaya pengembangan kapasitas serta pemberian akses untuk memperoleh manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil. Hal ini bermaksud dilakukan supaya kesejahteraan masyarakat setempat dapat meningkat secara berkelanjutan.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Pasal 83 Ayat 2 menjelaskan bahwa pemberdayaan masyarakat setempat adalah kewajiban dari pihak pemerintah baik itu pemerintahan provinsi, maupun pemerintahan kabupaten/kota dimana pelaksana pemberdayaan yang dimaksud adalah tanggung jawab kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Lembaga desa sebagai lembaga kemasyarakatan yang telah ditetapkan diberikan hak untuk melakukan pengelolaan hutan desa. Pengelolaan hutan desa ini diatur kemudian dalam Peraturan Desa sehingga secara fungsional aparat desa berperan penting dalam pengelolaan desa dan dipertanggungjawabkan kepada kepala desa. Hak pengelolaan hutan desa meliputi kegiatan tata areal, penyusunan rencana pengelolaan areal, pemanfaatan hutan serta rehabilitasi dan perlindungan hutan (Wulandari et al., 2016).
Kegiatan pemanfaatan hutan desa yang berada pada hutan lindung, meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan bukan kayu. Sedangkan pemanfaatan hutan desa pada kawasan hutan produksi meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Setiap pemanfaatan hasil hutan pada hak pengelolaan hutan desa dikenakan PSDH dan/atau DR (Wulandari et al., 2016).
2. Hutan Kemasyarakatan (HKm)
Hutan kemasyarakatan merupakan hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Hutan kemasyarakatan didefinisikan sebagai hutan negara yang dikelola dengan tujuan memberdayakan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat yang dimaksud adalah dengan kegiatan yang mampu memberikan peningkatan terhadap nilai ekonomi, bermanfaat kepada masyarakat baik itu pengelola maupun bukan, dan memiliki nilai budaya.
Pemanfaatan tersebut dilakukan dengan memperhatikan fungsi dari hutan, Artinya, pengelolaan hutan kemasyarakatan dilakukan tanpa mengganggu fungsi pokok dari hutan tersebut. Fungsi pokok yang dimaksud adalah fungsi pemanfaatan kawasan, fungsi pemanfaatan jasa lingkungan, fungsi pemanfaatan hasil hutan kayu, dan hasil hutan bukan kayu (Cahyaningsih, 2006).
Kunjungi juga : Sejarah dan Prinsip Kehutanan Masyarakat
Prinsip HKm adalah sebagai berikut:
- Tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan
- Pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dapat dilakukan dari hasil kegiatan penanaman
- Mempertimbangkan keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya
- Menumbuhkembangkan keanekaragaman komoditas dan jasa
- Meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan
- Memerankan masyarakat sebagai pelaku utama
- Adanya kepastian hukum
- Transparansi dan akuntabilitas publik
- Partisipatif dalam pengambilan keputusan.
- Belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan
- Menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat
Dalam hal yang dimohon berada pada hutan produksi dan akan dimohonkan untuk pemanfaatan kayu, mengacu peta indikatif arahan pemanfaatan hutan pada kawasan hutan produksi yang tidak dibebani izin untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu.
Kegiatan yang dilakukan di kawasan hutan kemasyarakatan adalah sebagai berikut:
- Pemanfaatan kawasan (budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, budidaya pohon serbaguna, budidaya burung walet, penangkaran satwa liar, rehabilitasi hijauan makanan ternak);
- Pemanfaatan jasa lingkungan (pemanfaatan jasa aliran air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, penyerapan dan/ atau penyimpanan karbon);
- Pemungutan hasil hutan bukan kayu (rotan, bambu, madu, getah, buah, jamur).
- Dasar hukum hutan kemasyarakatan terdapat pada Pasal 4 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. Peraturan tersebut menjelaskan bahwa perhutanan sosial diberikan dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, kemitraan kehutanan dan hutan adat.
Selain itu, dasar hukum tersebut lebih ditekankan pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan nomor SK. 744/MENL.HK- PKTL/REN/PLA.0/1/2019 tentang Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (Revisi III).
3. Hutan Tanaman Rakyat
Hutan tanaman rakyat merupakan hutan tanaman yang dibangun di dalam hutan produksi oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Hutan tanaman rakyat dapat dikembangkan melalui pemberian hak pengusahaan atau ijin pemanfaatan hutan tanaman kepada perorangan maupun kelompok, termasuk koperasi masyarakat.
Tujuan dari pembangunan hutan tanaman rakyat adalah sebagai berikut (Hakim, 2009):
- Rehabilitasi kawasan hutan produksi yang terlantar dan atau kosong akibat kerusakan pada beberapa tahun yang lalu
- Meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi tidak produktif secara optimal
- Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan produksi dalam pengelolaan hutan secara lestari
- Meningkatkan produksi kayu dalam hutan produksi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan
- Memberikan lapangan kerja dan usaha bagi masyarakat di sekitar hutan produksi dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
- Keamanan, yang terbangun dari kesadaran masyarakat di sekitarnya akan rasa memiliki, mengelola serta memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi dan meningkatkan kebutuhan hidupnya
- Membangun kebersamaan, keadilan dan keterbukaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara optimal untuk menuju kelestarian dalam mendukung aspek ekonomi, sosial dan ekologi
Dasar hukum pengelolaan hutan tanaman rakyat terdapat pada Pasal 4 Peraturan Menteri Lingkungan hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016, tentang Perhutanan Sosial yang menjelaskan bawah perhutanan sosial diberikan dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, kemitraan kehutanan dan hutan adat.
Kunjungi juga : Jenis-Jenis Hutan di Indonesia
Peraturan tersebut didukung dengan beberapa peraturan lainnya yakni:
- Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK. 744/MENL.HK-PKTL/REN/PLA.0/1/2019 Tentang Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (Revisi III).
- Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.5/Menhut- II/2008 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat Dalam Hutan Tanaman
- Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut- II/2008 Tentang Persyaratan Kelompok Tani Hutan Untuk Mendapatkan Pinjaman Dana Bergulir Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat
- Peraturan Menteri Kehutanan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan P.05/VI-BPHT/2008 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan P.06/VI- BPHT/2007 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
- Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat.
4. Hutan Adat
Hutan adat adalah hutan yang terletak di dalam wilayah masyarakat hutan adat. Masyarakat adat dengan hutan adat merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hutan adat termasuk bagian dari kehidupan masyarakat adat. Hal ini dikarenakan kehidupan sehari hari masyarakat adat ditopang oleh hutan adat. Selain itu, hutan adat juga menjadi titipan bagi generasi yang akan datang. Hutan adat menjadi salah satu kekayaan penting bagi masyarakat adat untuk menjamin kesejahteraan hidupnya (Wulandari, 2016).
Undang–undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 telah memberikan pengertian mengenai Hutan Adat yaitu "hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat". Keberadaan hutan adat adalah salah satu upaya untuk menjamin perlindungan terhadap masyarakat hukum adat di Indonesia. Tidak hanya itu, hutan adat juga sebagai kearifan lokal sekaligus sebagai jati diri Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa.
Kunjungi juga : Pengertian, Pengusulan, dan Penetapan Hutan Adat
Dasar hukum hutan adat terdapat pada Pasal 4 Peraturan Menteri Lingkungan hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016, Perhutanan sosial diberikan dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, kemitraan kehutanan dan hutan adat. Lebih lengkap terdapat pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK. 744/MENL.HK- PKTL/REN/PLA.0/1/2019 Tentang Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (Revisi III).
5. Sistem Kemitraan Hutan
Sistem Kemitraan Kehutanan yakni kerjasama masyarakat setempat dengan pengelolaan hutan, pemegang izin usaha pemanfaatan (IUP) hutan, jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan atau pemegang izin usaha industri primer hasil hutan. Kemitraan atau kerja sama ini dapat dilakukan di semua jenis hutan, baik itu hutan produksi, hutan lindung, maupun hutan konservasi.
Kemitraan ini dilaksanakan sebagai bentuk kewajiban tanggung jawab sosial dari pemegang hak kelola atau izin atas kawasan hutan untuk ikut berkontribusi dalam peningkatan kesejahteraan dari masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Perjanjian kerja sama kemitraan ini dimohonkan oleh pihak yang memiliki hak kelola maupun izin atas kawasan hutan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk disahkan.
Penjalinan kerja sama kemitraan ini dapat diajukan pada pihak tersebut untuk direalisasikan, karena memang sudah menjadi kewajiban pihak tersebut sebagaimana yang tercantum dalam pasal 72 PP 6/2007 tentang Tata Hutan, Rencana Pengelolaan Hutan, dan Pemanfaatan Hutan (Adnan et al., 2015).
2.2. Dampak Perhutanan Sosial
Program Kehutanan Sosial sudah mulai dijalankan sejak 1999 tetapi isu ini kurang terdengar karena tenggelam oleh berbagai peristiwa politik pada masa itu. Sebaliknya, pada masa yang sama bahkan sampai sekarang justru banyak terjadi kasus yang membuat warga desa harus maju ke meja pengadilan karena berbagai tuduhan melakukan tindakan melanggar hukum karena ketidakpahaman aturan.
Perhutanan Sosial merupakan sebagai jalan untuk masyarakat dalam pengelolaan hutan melalui pengajuan hak pengelolaan area hutan kepada pemerintah. Setelah disetujui maka masyarakat dapat mengolah dan mengambil manfaat dari hutan dengan cara-cara yang ramah lingkungan. Dengan cara ini masyarakat akan mendapatkan insentif berupa dukungan teknis dari pemerintah dalam mengelola perkebunan tanaman dalam area yang mereka ajukan. Hasil dari perkebunan tersebut dapat dijual atau dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
Kunjungi juga : Mengenal Pengelolaan Hutan
Saat ini pemerintah sudah menetapkan hutan seluas 12,7 juta ha untuk program perhutanan sosial. Namun, bisa saja keputusan tersebut dapat berubah apabila ada faktor yang diperhatikan ke depannya.
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
- Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dikelola oleh masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya.
- Pemerintah untuk periode 2015-2019 mengalokasikan 12,7 juta hektare untuk Perhutanan Sosial, melalui skema: Hutan, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, Kemitraan Kehutanan.
- Dengan perhutanan sosial masyarakat dapat mengolah dan mengambil manfaat dari hutan dengan cara-cara yang ramah lingkungan. Dengan cara ini masyarakat akan mendapatkan insentif berupa dukungan teknis dari pemerintah dalam mengelola perkebunan tanaman dalam area yang mereka ajukan.
Ditulis oleh : Cecep Muhlisin
Editor : Zega Hutan